Jumat, 22 November 2013

PEMBACA IMPLISIT

NAMA    :    SYAM SURIAWATI
STAMBUK    :    A1D111087


PEMBACA IMPLISIT
   
    Wolgaf Iser merupakan seorang eksponen Mahzab Konstanz. Iserlebih menfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan Implied Reader (pembaca implisit). Secara singkat dapat di katakan bahwa ‘pembaca Implisit’ merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks –teks itu sendiri, yang menungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Dalam pandangan Iser mencetuskan bahwa tugas kritikus bukan menerangkan teks sebaggai obyek, melainkan lebih menerapkan efeknya kepada pembaca. Kodrat teks itulah yang mwngijinkan beraneka- ragam kemungkinan pembacaan. Istilah “pembaca” dapat di bagi menjadi “pembaca implisit” dan “pembaca nyata”. Pembaca imolisit adalah pembaca yang diciptakan sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban”, yang mempengaruhi kita untuk membaca dalam cara tertentu.”sedangkan Pembaca nyata” itu menerima citra mental tertentu dalam proses pembacaan; bagaimanapun juga, citraan itu akan secara tak terhindarkan diwarnai oleh “persediaan pengalaman yang ada”.
Iser mengemukakan resepsinya dalam bukunya yang terkenal The Arch of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorangpun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra. Sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori Fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang,yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasi (realisasi makna teks oleh pembaca).
Iser (1978:20-21), menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistic dan kutub estetik. Kutub artistic adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasi yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus di mulai dari kode-kode struktur yang di muat dalam teks. Aspek verbal (struktur bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks.
 Pengalaman pembacaan akan berbeda sesuai dengan pengalaman masa lampau kita. Kata-kata yang kita baca tidak menggambarkan objek nyata, tetapi ucapan manusia dalam samara rekaan. Bahasa rekaan ini menolong kita untuk menyusun obyek citraan dalam pikiran kita. Contohnya sebaaimana di kemukakan Iser, dalam Tom Jones Fielding menghadirkan dua pelaku, Allworthy (manusia sempurna) dan Kapten Bilfil (si munafik). Perjalanan pembaca dalam buku ini merupakan sebuah proses penyesuaian yang terus-menerus. Kita akan melahirkan pikiran-pikiran dan harapan-harapan tertentu, yang berdasarkan ingatan kita pada pelaku-pelaku dan peristiwa-peristiwa, akan tetapi harapan-harapan itu secara terus-menerus dimodifikasi, dan ingatan-ingatan itu di transformasi selama kita menjelajahi teks itu. Apa yang kita tangkap ketika kita membaca hanya serangkaian titik pandangan berubah, bukan sesuatu yang tetap dan sepenuhnya berarti pada tiap titik.
Sekalipun sebuah karya sastra tidak menghadirkan obyek, karya itu tidak mengacu pada dunia ekstra-sastra dangan memilih norma tertentu system nilai atau “pandangan dunia”. Norma-norma ini adalah konsep tentang realitas yang menolong manusia untuk membuat arti akan kekacauan pengalaman mereka. Teks itu mengambil “reportoir” norma-norma semacam itu dan menunda yadilitasnya dalam dunia fiksinal dalam Tom Jones, bermacam-macam pelaku menguasai norma yang berbeda. Masing-masing norma menyatakan nilai tertentu dengan mengorbankan yang lain, dan masing-masing cenderung menjanjikan citra kodrat manusia kepada suatu prinsip atau prespektif yang tunggal. Dalam kehidupan nyata, kadang-kadang kita menjumpai orang yang tampak mewakili pandangan dunia tertentu (sisnisme,humamisme), tetapi memberikan gambaran kita sendiri atas dasar ide yang di terima. System nilai  yang kita hadapi di peroleh secara acak artinya, tak ada penulis yang memilih dan menentukan lebih dahulu dan tidak ada pahlawan yang tampil untuk menguji validitasnya. Dengan demikian sekalipun ada” kesenjangan” dalam teks untuk diisi, namun ternyata teks itu jauh lebih tersusun daripada kehidupan itu sendiri.
Jika kita menerapkan metode Iser kepada sajak Wordsworth, kita melihat bahwa aktifitas pembaca terdiri atas, pertama, menyesuaikan sudut pandangnya ((a), (b),(c),dan(d)). Dan yang kedua, dalam mengisi sebuah “ tempat kosong” di antara dua bait itu (anatara spiritualitas transenden dan imanensi pantheistik). Penerapan ini nampaknya agak suka di laksanakan karena sebuah sajak pendek tidak membutuhkan pembaca membuat perturutan penyesuaian yang panjang yang di perlukan dalam pembacaan novel. Bagaiamanapun juga, konsep “ kesenjangan” itu tetap valid.
Masih belum jelas apakah Iser ingin memberikan kekuatan kepada pembaca untuk mengisi semaunya tempat-temapat kosong da;am teks itu apakah dia memandang teks itu sebagai wasit terakhir dari aktualisasi pembaca. Apakah kesenjangan antara “ manusia sempurna” dan “ manusia sempurna yang kurang pertimbnagan” di isi oleh seorang  pembaca yang menimbang dengan bebas atau seorang pembaca yang di pandu oleh intruksi teks? Penekanan Isert akhirnya penuh fenomenologis artinya, pengalaman pembacaan pembaca ada di pusat proses sastra. Dengan memecahkan kontradiksi di antara bermacam sudut pandang yang berkembang dari teks itu atau dengan mengisi “ kesenjangan” di antara susut-sudut pandang dengan berbagai macam cara, pembaca menyerap teks itu ke dalam kesadaran mereka dan membuatnya menjadi pengalaman mereka sendiri.Tampaknya ada juga teks yang menyediakan perngkat istilah yang dapat diaktualisasikan artinya oleh pembaca, “gudang pengalaman” pembaca sendiri akan ambil bagian dalam prose itu. Kesedaran pembaca yang ada akan melahirkan penyesuaian-penyesuaian terhadap kedalaman tertentu agar dapat menerima dan memproses sudut pandang asing yang di hadirkan teks ketika pembacaan terjadi. Situasi ini menghasilkan kemungkinan bahwa “ pandangan dunia” pembaca sendiri mungkin di modifikasikan sebagai suatu penghayatan,perjanjian,dan pelaksanaan unsur-unsur teks yang sebagian tidak di tentukan.
Menurut Iser (1978:22), tugas kritik teks adalah menjelaskan potensi-potensi makna tanpa membatasi diri pada aspek-aspek tertentu,karena makna teks bukanlah sesyatu yang tetap melainkan sebagai peristiwa yang dinamik (a dynamic happening), dan berubah-ubah sesuai dengan gudang pengalaman pembacanya. Sekalipun disadari bahwatotalitas makna teks tidak dapat secara tuntas dipahami, proses membaca itu sendiri merupakan suatu prakondisi penting bagi pembentukan makna. Makna referensial bukanlah cirri pokok estetis. Apa yang dinamakan estetis adalah jika hal tertentu membawa hal baru, sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Jadi penetapan makna estetis sesunguhnya bermakna ganda (amphibolic), bersifat estetis sekaligus diskursif. Pengalaman yang dibangun dan digerakan dalam diri pembaca oleh sebuah teks menunjukan bahwa kepenuhan makna ekstetis muncul dalam relasi dengan sesuatu di li luar teks.
Pandangan Iser tentang estetika resepsi dapat dipahami dengan meninjau teorinya mengenai ‘pembaca implisit’ (implisit reader) (1982:27-38) dan membandingkannya dengan teori-teori pembaca lainnnya.
Menurut Iser, konsep tradisional mengenai pembaca selama ini umumnya mencakup dua kategori, yakni pembaca nyata dan pembaca historis (seperti yang ditemukan dalam studi sejarah resepsi ;bdk. Jauss) dan pembaca potensial atau pembaca yang diandaikan / dihipotesiskan oleh pengarang. Diandaikan bahwa pembaca jenis kedua ini mampu mengaktualisasikan sebuah teks dalam suatu konteks secara memadai; seperti seorang pembaca ideal yang memahami kode-kode pengarang.
Selain teori-teori tradisional tersebut, terdapat beberapa pandangan yang lebih modern tentang pembaca, yang menurut Iser tidak bebas dari kesalahan.
1)    Michael Riffaterre memperkenalkan istilah Superreader, yakni sintesis pengalaman membaca dari sejumlah pembaca dengan kompetensi yang berbeda-beda. Kelompok ini diharapkan dapat mengungkap potensi sematik dan pragmatik dari pesan teks melalui stilistika. Kesulitan akan muncul bila erdapat penyimpangan gaya, yang mungkin hanya dipahami dengan refensi lain di luar teks.
2)    Stanley Fish mengajukan istilah Informed reader (pembaca yang tahu, yang berkompeten), yang mirip dengan konsep Riffatere. Untuk menjadi seorang pembaca yang berkompeten, diperlukan syarat-syarat: a) kemampuan dalam bidang bahasa; kemampuan semantik; c) kemampuan sastra. Melalui kemampuan-kemampuan ini seorang Informed reader dapat merespon karya sastra. Teori ini tidak dapat diterima karena lebih berkaitan dengan teks daripada dengan pembacanya. Perubahan kalimat misalnya, lebih berkaitan dengan aturan gramatikal daripada pengalaman pembacaan.
3)    Erwin Wolff mengusulkan Intended reader, yakni model pembaca yang berada dalam benak penulis ketika dia mengkontruksikan idenya. Model pembaca ini mengacu kepada pembayangan seorang penulis tentang pembaca tulisannya  melalui observasi akan norma dan nilai yang dianut masyarakat pembacanya. Pembaca ini akan mampu menangkap isyarat-isyarat tekstual. Persoalannya, bagaimana jika seorang pembaca yang tidak di tuju oengarang tetapi mampu memberikan arti kepada sebuah teks.
Iser sesendiri mengajukan konsep Implied Reader untuk mengatasi kelemahan pandangan-pandangan teoritis mengenai pembaca. “pembaca tersirat sesungguhnya telah di bentuk dan distrukturkan di dalam teks sastra. Teks sendiri telah mengandung syarat-syarat bagi aktualisasi yang memungkinkan pembenukan maknanya dalam bentuk pembaca”(Isert,1982:34). Dengan demikian, kita harus mencoba memahami efek tanggapan pembaca terhadaop teks tanpa prasangka, tanpa mencoba membatasi karakter dan situasi historisnya. Teks sudah mengasumsikan pembacanya, entah pembaca yang berkompeten maupun tidak teks menampung segala macam pembaca, siapapun dia, karena struktur teks sudah menggambarkan peranannya.
Perhatikan bahwa teks sastra yang di susun seorang pengarang(denan pandangan dunia pengarangnya) mengandung empat perspektif utama yakni pencerita, perwatakan, alur, dan bayangan mengenai pembaca. Keempat perspektif ini memberi tuntunan untuk menemui arti teks. Arti sebuah teks dapat di peroleh jika keeempat perspektif ini dapat di pertemuka dalam aktifitas atau proses membaca. Di sini terlihat kedudukan pembaca yang sangat penting dalam memadukan perspektif –perspektif tersebut dalam satu kesatuan tekstual, yang di pandu oleh penyatuan atau perubahan perspektif.
Instruksi-instruksi yang di tunjukan teks merangsang bayangan mental dalam menghidupkan gambaran yang di berikan oleh struktur teks. Pemenuhan makna teks terjadi dalam proses ideasi (pembayangan dalam benak pembaca) yang menerjemahkan realitas teks kedalam realitas pengalaman personal pembaca. Secara konkret,  isi nyata dari gambaran mnetal itu sangat di pengaruhi oleh gudang pengalaman pembaca sebagai latar referensial. Konsep Implied Reader memungkinkan kita mendeskripsikan efek-efek struktur sastra dan ntanggapan-tanggapan pembaca terhadap teks sastra.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar