Selasa, 08 Oktober 2013

"MAKAM RAJA-RAJA BUTON”



Proposal penelitian










Oleh

NAMA                             :  SYAM SURIAWATI
STAMBUK                      :  A1D1 11 087
PROGRAM STUDI        :  PBSID

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2013







Nama                             : Vini Elfiyunita
Stambuk                        : A1D1 05 065
Judul Penelitian            :  Nilai Kehidupan Dalam Kumpulan  Cerpen
                                         Salju di Paris Karya Sitor Situmorang
Dosen Pembimbing       : 1. Dra. Sri Suryana Dinar, M.hum
                                         2. La ode Syukur, S.Pd., M.Hum.     

ABSTRAK

           Penelitian ini berjudul “nilai kehidupan dalam kumpulan cerpen salju di paris karya Sitor Situmorang”.Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra yang lebih muda usianya dibanding dengan puisi dan novel. Cerpen merupakan salah satu istilah dalam karya fisik yang kehadirannya menambah jenis baru karya sastra dalam dunia kesastraan Indonesia. Adapun masah yang dikemukakan dalam penelitian adalah “Bagaimanakah nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerpen Salju Di Paris Karya Sitor Situmorang?” Dengan tujuan penelitin yaitu untuk mendeskripsikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kumpulan cerpen Salju Di Paris karya Sitor Situmorang.
      Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, dengan metode deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah catatan tentang nilai kehidupan pada cerpen Jin, Harimau Tua Dan Ibu Pergi Ke Surga. Sedangkan sumber datanya adalah buku kumpulan cerpen salju di paris karya Sitor Sutumorang yang dipublikasikan oleh Grasindo pada tahun 1994. Teknik yang digunakan adalah teknik baca dan teknik catat, sedangkan analisis data dengan menggunakan pendekatan hermeneotik.
    Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa pada cerpen Jin, Harimau Tua, dan Ibu Pergi Ke Surga karya sitor situmorang mengandung nilai moral, nilai social, nilai budaya, nilai keagamaan, dan nilai pendidikan. Cerpen Jin meliputi: a) nilai moral, yakni tanggung jawab, b) nilai social, yakni kehormatan dan wibawa jabatanya seorang pemimpin, c) nilai budaya, yakni setitip aib yang menimpah sebuah keluarga maka akan berdampak kolektif pada keluarga itu, d) nilai keagamaan, yakni kepercayaan kepada kekuatan ghaib, dan e) nilai pendidikan, yakni kerabat keluarga sebagai sebuah wadah yang dapat menerimah kita baik dalam susah ataupun senang. Cerpen Harimau Tua, meliputih: a) nilai moral, yakni menghargai dan menghormati perasaan orang lain, b) nilai sosial, yakni sebagai makhluk tuhan seyogianya harus saling tolong-menolong, c) nilai budaya, yakni persaudaraan dan persatuan akan menciptakan kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera, d) nilai pendidikan, yakni tidak ada gunanya kita memiliki rasa dendam pada makhluk hidup lain. Cerpen Ibu Pergi Ke Surga, meliputi: a) nilai moral, yakni tanggung jawab, b) nilai social, yakni gerak solidaritas sebagai tanggung jawab sebagai manusia sangat penting artinya untuk membina kehidupan yang harmonis, c) nilai budaya, yakni menghargai dan menghormati keberadaan orang lain yang tetap memperhatikan status dan golongan tertentu, khususnya pada upacara tradisional, d) nilai keagamaan, yakni sebagai manusia yang beragama kita harus senantiasa menjalankan peritah-perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya serta e) nilai pendidikan, yakni pendidikan merupakan sesuatu yang penting untuk meningkatkan harkat dan martabat seseorang. Terlepas dari banyaknya keterbatasan dan kekurangan-kekurang yang menyelimutinya, proses pendidikan harus tetap berjalan mengingat nilai-nilai yang terkandung didalamnya menyangkut segala aspek kehidupan.

1.    PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Seni sastra atau kesastraan adalah karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Karya sastra juga bagian dari karya seni yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang mendeskripsikan fenomena hidup dan kehidupan manusia dengan kompleksnya. Dalam karya sastra, pengalaman atau peristiwa yang dituangkan bukanlah pengalaman atau peristiwa yang sesungguhnya tetapi meruapakan hasil rekaan saja. Dengan kata lain, dunia sastra adalah dunia khayal atau dunia yang terjadi karena khayalan pengarang.
Pada prinsipnya karya sastra ini bersifat menyenangkan dan bermanfaat. Sifat menyenangkan pada karya sastra diartikan sebagai suatu yang tidak menjemukan dan dapat menghibur hati penikmatnya. Dikatan demikian karena dalam karya sastra itu telah tergambar arti kehidupan sejati. Sedangkan manfaat dari karya sastra tergantung dari manusia dan masyarakatoleh karena itu, dalam menentukan manfaat karya sastra bergantung sikap kita dalam menempatkan karya sastra sebagai karya imajinatif.
Cerpen sebagai genre dastra yang melukiskan suatu kejadian atau persoalan dalam kehidupan manusia merupakan suatu karya kreatif yang melukiskan pikiran penulis tentang hidup dan kehidupan. Cerpen memang tidak memberikan peluang yang besar untuk memaparkan secara detail keinginan penulis. Namun bagaimanapun juga semua kejadian dan keadaan yang diperlukan dlam cerita, harus terungkap didalamnya. dengan demikian, penulis dituntut untuk dapat mengungkapkan kehidupan dimensional dengan cerita berbobot. Oleh karena itu, lewat jendela kecil cerpen itu, kita dapat memperoleh gambaran masyarakat kita, sekurang-kurangnya yang ditangkap penulisnya. Untuk itu dituntut kejelian dan kreatifitas penulis dalam mengelola apa yang diinginkan dalam media. Dan sebaliknya kita pun dituntut melihat kesanggupan cerpen sebagai suatu ragam sastra dalam mengungkapkan kehidupan masyarakat itu dalam ruang lingkup yang memang pendek.
Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek adalah cerita yang pendek. Cirri dasar lain dari cerpen adalah sifat rekaan, cerpen buken penuturan kejadian yang sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnyaberdasarkan hasil pengamatannya atas kenyataan kehidupan. Dengan demikian banyak hal yang diperoleh dari karya sastra untuk memperkaya pengertian kita tentang hidup. Karena itulah banyak orang melakukan penelitian terhadap karya sastra baik novel, drama, puisi, maupun cerpan, dengan tujuan untuk memahami apa yang tertulis dan apa yang tersirat dalam karya sastra dan relevansinya dengan kehidupan.
Cerpen mampu memberikan gambaran kehidupan dan setiap kejadian tertentu setelah selesai dibaca. Untuk membaca sebuah cerpen tidak membutuhkan waktu yang lama. Cerita akan menjadi menarik dan unik karena sebagian pembaca akan cepat menarik sebuah kesimpulan dari isi cerpen yang dibacanya. Cerpen berguna sebagai penghibur maupun penghilang rasa lelah.
 Mengingat kehadiran cerpen cukup penting dalam masyarakat Indonesia dan minat masyarakat yang cukup besar terhadap cerpen maka wajar bila genre sastra ini perlu mendapat perhatian dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pengajaran sastra. Oleh karena itu, melalui kajian ini penulis mengungkap nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam kumpulan cerpaen Salju Di Paris karya Sitor situmorang. Hal ini dimaksudkan untuk membantu memediasi pengungkapan serangkaian ide yang ingin disampaikan pengarang sehingga bias diketahui oleh khalayak pembaca. Dengan penafsiran yang sederhana, diharapkan kajian ini secara tidak langsung dapat membantu masyarakat untuk mengetahui dan mencintai lebih lanjut karya sastra, khususnya cerpen.
Tiga cerpen yang dikarang oleh Sitor Situmorang dalam kumpulan cerpan Salju di Paris memiliki topic yang sama, yakni tentang masalah kehidupan. Hal ini akan menjadi sesuatu yang lebih menarik sebab gambaran jelas kehidupan masyarakat, yaitu system nilai dan sistem budaya yang ada pada masyarakatnya masih berpengaruh dan relevan dalam kehidupan masyarakat masa kini. Pandangan ini dapat dilihat pada masing-masing cerpen yang alur ceritanya berbeda-beda namun temanya sama, yakni semuanya sama membahas tentang kehidupan. Dalam prepektif penulis, serangkaian cerita yang terdapat di dalamnya juga banyak bersentuhan dengan hidup dan kehidupan yang dapat dipetik nilai-nilai positifnya untuk kehidupan dewasa ini.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tiga cerpen tersebut berkaitan langsung dengan gambaran kehidupan yang ditampilkan oleh pengarang dalam menggerakan ide cerita. Di dalamnya terdapat ajaran-ajaran moral yang bermanfaat bagi pembaca yang merupakan masyarakat social yang bertakwah kepada Tuhan Yang Maha esa. Tiga cerpen dalam kumpulan cerpen Salju Di Paris, yakni Jin, harimau Tua, dan Ibu Pergi Ke Surga, merupakan cerpan pilihan yang memiliki tema tentang gambaran kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di daerah Sumatera Utara pada masa itu.
Karya sastra dlam hal ini cerpen Jin, Harimau Tua, dan Ibu pergi ke surge yang termuat dalam kumpulan cerpen salji Di paris karya sitor situmorang mengandung nilai positif dan nilai pengalaman yang dapat membekali peserta didik dengan suatu yang bermanfaat dalam mengrungi kehidupan baik itu di lingkungan sekolah, maupun saat bersosialisasi di lingkungan masyarakat. Tidak hanya itu, tiga cerpen dimaksud juga dapat member khalayak pembaca pencerahan-pencerahan hidup yang lebih tinggi yang dapat mengarahkan perubahan pola pikir kearah yang bernilai etika dan moral dalam mengarungi kehidupan di lingkungan social masyarakat.
Uraian di atas memotivasi penulis umtuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “nilai kehidupan dalam kumpulan cerpen salju di paris karya sitor situmorang”. nilai kehidupan dalam kumpulan cerpen salju di parisdiharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat dalam pengembangan bahan pembelajaran sastra Indonesia di sekolah, khususnya dijenjang sMP kelas IX seperti yang terdapat dalam Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), bahwa pembelajaran cerpen semester I memuat kopentensi dasar menganalisis nilai-nilai kehidupan positif maupun negative dalam cerpen dan mampu membandingkan nilai-nilai itu dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat memotivasi peserta didik untuk menambah dan menumbuh kembangkan minat baca terhadap karya sastra cerpen, maupun karya sastra secara umum.

1.2 Kajian Pustaka
1.2.1  Konsep Kesusastraan
Membahas secara jauh istilah sastra, maka kita akan dihadapkan dengan begitu banyaknya batasan sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Meskipun batasan-batasan itu tidak sepenuhnya memuaskan karena masing-masing tokoh memberi batasan dengan versi masing-masing, akan tetapi pada umumnya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia dalam kurun waktu tertentu. Sastra merupakan hasil kreasi yang imajinatif.
Mengenai batasannya yang beragam tersebut, Sumardjo (1989: 11) mengatakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah benda yang kita jumpai. Sastra adalah sebuah nama dengan alas an tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Menurut Badudu (1975: 5), secara morfologis, kata kesusastraan berasal dari susastra yang diberikan imbuhan ke-an. Kata dasar su-sastra sebenarnya kata dasar kedua, karena dapat pula diartikan dan diuraikan atau su dan sastra yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Welek dan Weren (1995: 4) mengemukakan bahwa sastra tidak bisa ditelaah sama sekali. Sastra boleh dibaca, dinikmati dan diapresiasi. Selebihnya yang bisa dilakukan adalah mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai karya sastra.
Untuk lebih jelasnya berikut pendapat dan ahli sastra:
1.    Jakob Sumardjo (1989: 11): sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran kongkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
2.    Perkamin : kesastraan berdasarkan arti katanya adalah suatu tulisan atau ungkapan yang indah yang arti di dalamnya tercapai keseimbangan antara isinya yang indah dan dilahirkan dengan bahasa yang indah pula (Zulfahmur,dkk,1997 : 3).
Dari batasan-batasan sastra yang telah dikemukakan para ahli di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa sastra merupakan suatu ciptaan yang imajinatif, suatu kreasi, dan memiliki kecenderungan sebagai sebuah imitasi dari kehidupan nyata. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, melanjutkan penciptaan di dalam alam semesta, bukan menyempurnakan, serta merupakan suatu harapan emosi yang spontan.
1.2.2 Konsep Cerpen
        Menurut bentuk fisiknya, cerpen adalah cerita yang pendek, cerita atau narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi dimana saja dan kapan saja) serta relative pendek (Sumardjo, 1997: 37). Tarigan (Khotimah, 1997: 7) menyatakan bahwa cerpen adalah pengajian suatu kejadian tersendiri atau kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal kepada jiwa pembaca. Cerpen tidak bolehdipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu.
        Sumardjo (1984: 19) mengemukakan bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Bentuk cerita ini bersifat cerita singkat, namun sarat dengan makna dan manfaat. Kurang lebih dari pendapat diatas, semi (1988: 34) mengemumukan bahwa soal panjang pendek ukuran fisiknya tidak menjadi ukuran yang mutlak, karena cerpen tidak ditentukan harus sekian halaman atau sekian kata. Walaupun ia mempunyai kecenderungan untuk berukuran pendek. Karena singkatnya, jelas tidak memberikan kesempatan bagi cerpen untuk menjelaskan dan mencantumkan segalanya, kepadanya dituntut menyampaikan sesuatu yang tidak kecil kendatipun menggunakan sejumlah kecil bahasa. Cerpen merupakan pilihan sadar para penulis dan ia merupakan bentuk sastra berdaulat penuh (Semi, 1988: 35).
        Karya sastra ini sebagai cerita sebagai cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak dijumpai dimajalah, surat kabar, maupun buku-buku bahasa Indonesia. Sesuai dengan namanya cerita pendek, cerpen ini mempunyai ciri, yaitu sangat singkat waktu yang digunakan untuk membacanya. Keutuhan atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsure salah satu momen dalam kehidupan manusia, waktu penceritaannya pendek, jumlah baris atau halaman pendek dan dapat dibaca dalam waktu singkat. Ian Reid ( Khotimah: 2004: 8) menyebutkan tiga kualitas dalam cerpen, yaitu: (1) adanya kesan (impersi) yang menyatu dalam diri pembaca, (2) adanya kosentrasi dari krisis (konflik), (3) danya pola (desain) yang harmonis.
        Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa cerprn merupakan cerita yang fiktif, relative, singkat dan memberikan kesan tunggal terhadap pembaca mengenai kenyataan hidup sehari-hari. Cerpen sebagai salah satu jenis prosa fiksi pada hakikatnya merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk mengungkapkan keyakinan, kebenaran, gagasan, sikap, dan pandangan hidupnya, serta hal-hal yang tergolong sebagai unsure fiksi yang ingin disampaikan.
1.2.3 Konsep nilai
        Nilai adalah hakikat suatu hal yang menybabkan hal tersebut pantas dijalankan oleh manusia (Arijarkor dalam Efangelis, 2001:11). Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa nilai itu sendiri sesungguhnya berkaitan erat dengan kebaikan dan lebih melekat pada halnya. Oleh karena itu, nilai akan selalu lebih cenderung mengarah pada sikap orang terhadap sesuatu yang baik. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan yang lain untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai dikatakan dapat berguna atau tidak berguna, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius, hal itu dihubungkan dengan unsure-unsur yang melekat pada diri manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, dan kepercayaan. Sesuatu dikatak bernilai apabila sesuatu itu berguna, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai etis/moral) dan religius (nilai agama).
        Sehubungan dengan konsep nilai, poewadarminta menjelaskan bahwa nilai adalah kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting yang berguna bagi kemanusiaan (yunus, 1990:104). Nilai adalah sesuatu yang penting atau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta membentuk suatu cara dalam sistim masyarakat social yang merupakan rantai penghubung secara terus menerus dari kehidupan generasi dahulu.
        Sipley (wahid, 2005: 34-35) mengemukakan bahwa kritik terhadap sebuah karya sastra berakar pada tuntutan-tuntutan nilai, baik secara eksplisit mupun secara implisit. Sejalan dengan itu, Suharianto mengatakan bahwa kelahiran karya sastra tidak semata-mata disebabkan oleh pengarang ingin menghibur masyarakat pembacanya, tetapi dengan penu kesadaran  ia ingin menyampaikan nilai-nilai yang agung yang dibutuhkan manusia pada umumnya. (yunus,dkk.1990:205).
Sastra dan tata nilai adalah dua fenomena yang saling melengkapi dalam keberadaan mereka sebagai sesuatu yang ekosistensial. Sebagai bentuk seni, pelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang bertata nilai, dan pada gilirannya sastra juga akan member sumbangsi bagi rerbentuknya tata nilai. Selanjutnya tata nilai sastra ituakan memberikan semacam penekanan bahwa cipta seni tersebut merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.
1.2.4 Nilai-nilai kehidupan Dalam Cerpen.
Secara umum karya sastra mengungkapkan sisi kehidupan manusia
Dengan segala macam perilakunya dalam bermasyarakat. Kehidupan tersebut diungkapkan dengan penggambaran nilai-nilai terhadap perilaku manusia dalam sebuah karya. Oleh karena itu, sebuah karya sastra selain sebuah ungkapan estetika, disisi lain juga berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan.
Kandungan nilai suatu karya sastra adalah unsure esensial dari katya itu secara keseluruhan. Pengungkapan nilai-nilai yang terdapat dalam suatu karya sastra, bukan saja akan memberikan pemahamn tentang latar belakang social budaya si pencerita, akan tetapi mengandung gasan-gagasan dalam menanggapi situasi-situasi yang terjadi dalam masyarakattempat karya sastra tersebut lahir. Hal ini seperti yang diungkapkan Supardi Djoko Damono, bahwa sastra mencerminkan norma, yakni ukuran prilaku yang oleh anggota masyarakat diterima sebagai cara yang benar untuk bertindak dan menyimpulkan sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang secara sadar diformulasikan dan diusahakan oleh warganya dalam masyarakat (yunus, dkk, 1990:104). Sehubungan dengan pengelompokan nilai, Najib menjelaskan bahwa, secara garis besarnya, nilai-nilai yang ada dalam karya sastra terdiri atas tiga golongan besar, yaitu (1) nilai keagamaan, (2) nilai sosial, (3) nilai moral. Selanjutnya, nilai-nilai tersebut masih dapat diuraikan dalam kelompok yang lebih kecil, yaitu nilai agama terdiri atas nilai tauhid, nilai pengetahuan, nilai menyerah pada takdir. Nilai social terdiri atas, nilai gotong royong, musyawarah, kepatuhan, kesetiaan, dan keikhlasan. Dan nilai moral terdiri atas niali kejujuran, kesopanan, ketabahaan, dan menuntut malu atau harga diri(Wahid dalam Herman, 2010:11). Selain ketiga nilai besar menurut Wahid diatas, juga terdapat nilai budaya dan nilai pendidikan yang erat kaitanya dengan penelitian ini. Hal ini bagi penulis agar pembaca dapat teratur untuk memahami apa-apa saja nilai yang terkandung dalam cerpen. Oleh karena itu, pada bagian ini akan diskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra cerpen, yakni nilai sosial, keagamaan, moral, budaya, dan pendidikan.
a.    Nilai Sosial
Nilai social adalah sesuatu yang menjadi ukuran dan penilaian pantas atau tidaknya suatu keinginan dan kebutuhan dilakukan.nilai ini memperlihatkan sejauh mana seseorang individu dalam masyarakat mengikat diri dalam kelompoknya. Satu individu selalu berhubungan dengan individu lain sebagai anggota masyarakat.
Nilai sosial tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya dan keagamaan. Kegiatannya terkait secara erat satu sama lain, walaupun pada tingkat abstraksinya nilai social tampak lebih nyata dalam aktifitas masyarakat. Kalau nilai budaya merupakan gagasan-gagasan dan pola ideal masyarakat tentang segala sesuatu yang dipandang baik dan berguna, maka pada nilai social gagasan-gagasan itu telah dituangkan dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan dan hukum. Nilai-nilai social inilah yang menjadi pedoman langsung dalam setiap tingkah laku manusia sebagai anggota suatu masyarakat yang didalamnya terdapat sanksi-samksi bagi siapa saja yang melanggarnya. (Yunus,dkk..,1990: 114).
Nilai social dalam cerpen memiliki hubungan timbale balik maksudnya adalah pengarang dapat mengangkat kehidupan social masyarakat sebagai bahan penciptaan dan cerpen yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan social masyarakat itu kepada masyarakat pembaca lainnya, serta memberikan sikap dan penilaian pembacannya.
b.    Nilai Keagamaan
Sastra dengan agama mempunyai hubungan yang sangat erat. Banyak karya sastra yang menjadi jalan atau sarana penyampaian nilai-nilai keagamaan. Dalam pembicaraan mengenai hubungan sastra dengan agama, Mangunwijaya lebih cenderung menggunakan istilah religius dan religiusitas dari pada istilah agama dan religi. Agama lebih menitik beratkan pada kelembaagan  yang mengatur tata cara penyembahan manusia  kepada penciptanya, sedangkan religiusitas lebih menekan kualitas manusia beragama (yunus, dkk, 1990:106).
Agama dan religius adalah kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi. Keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, kehidupan pribadi dan kebersamaan dalam masyarakat. Sehubungan dengan fungsi sastra dalam pengungkapan nilai-nilai keagamaan, Mural Esten berpendapat, bahwa ada tiga corak yang dapat kita lihat dalam sastra dalam hubungannyadengan keagamaan, yaitu mempersoalkan praktik ajaran agama, sastra mencipta dan mengungkapkan masalah tertentu berdasarkan ajara-ajaran agama, dan kehidupan agama hanya sebagai latar belakangnya (yunus, dkk., 1990:106).
Bertolak dari urayan yang dikemukakan diatas, yang dimaksud dengan nilai keagamaan dalam pembahasan ini adalah standar perilaku yang dilaksanakan atau dijalankan masyarakat kepada yang bersifat suci yang menjadi pedoman tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkut.
c.    Nilai Moral. 
Moral membahas tentang ajaran baik buruknya suatu perbuatan atau kelakuan manusia terhadap kelakuan dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dengan demikian, nilai moral mencakup hubungan manusia dengan manusia lain dannilai manusia dengan hubungannya sendiri. Dalam hal ini, dapat juga berupa sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila.
Nilai moral adalah nilai kesusilaan yang dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Dalam hal ini mengenai sikap, kewajiban akhlak, budi pekerti, dan susila (Purna, 1994:4). Moral kadang disamakan dengan etika karena kedua-duanya mengandung makna sebagai adat kebiasaan perilaku manusia dalam hidupnya, hanya yang membedakan adalah asal dari kedua kata itu. Kata moral berasal dari bahasa latin, sedangkan etika berasal dari bahasa yunani.
d.    Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai yang selalu tidak diselipkan oleh sastrawan dalam karyanya.  Nilai budaya yang secara umum dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan tradisi atau kebudayaan yang nampak dan diakui dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1950: 11) yang mengatakan bahwa nilai budaya adalah tingkat yang paling abstrak diantara adat istiadat yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap bernilai dalam kehidupannya.
Istilah budaya dalam wacana sehari-hari dupergunakan dan memiliki makna yang beragam atau berbeda-beda dalam berdasarkan pemahaman komunitas penduduknya. Artinya masing-masing suku bangsa memiliki standard an system nilai untuk kebudayaan tertentu. System nilai itu berupa konsepsi hidup dalam alam pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Dengan sikap rasa memiliki dalam diri seseorang maka akan timbul rasa menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama.
e.    Nilai Pendidikan
Pasaribu (1993) menjelaskan pendidikan adalah suatu proses dimana manusia membina perkembangan manusia lain secara sadar dan sistematik. Dengan pembinaan itu, si pembina membantu yang dibina agar cakap dalam menyelesaikan hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha sadar manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban manusia  di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan (Purwanto, 1993: 183).
Nilai pendidikan yang dimaksud adalah standard an system nilai tentang segala hal yang menyangkut pembelajaran yang positif, baik melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun diluar sekolah. Dengan perkataan lain, nilai ini selalu berhubungan dengan usaha memanusiakan manusia baik dari pola pikir maupun pola sikap atau perbuatan. Nilai ini berorientasi pada bagaimana  sumber daya manusia itu lebih baik untuk mempersiapkan diri pada masa yang akan datang. Dengan modal nilai, manusia diharapkan dapat mengukir kebudayaan yang luhur bagi kemaslahatan hidupnya  
2.    METODE PENELITIAN

2.1    Metode dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif adalah penggambaran atau penyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara obyektif sesuai dengan data yang terdapat dalam kumpulan cerpen salju di paris karya Sitor Situmorang. Menurut Nasution (Hidayat, 2001: 12) penelitian kuatitatif pada hakikatnya adalah penelitian yang berusaha mengamati, memahami dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman makna.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Dikatakan demikian karena penelitian ini di dukung oleh referensi baik berupa cerpen, maupun sumber bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah penulisan karya ini.
2.2    Data dan Sumber Daya
Data dalam penelitian ini adalah data tulis. Data tulis yang dimaksud adalah catatan tentang nilai kehidupan pada cerpen Jin, Harimau Tua, dan Ibu pergi ke surga. Sedangkan sumber datanya adalah buku kumpulan cerpen salju di Paris karya Sitor Situmorang.
2.3    Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Teknik baca yaitu membaca teks cerpen Jin, Harimau Tua, dan Ibu pergi ke surga dalam kumpulan cerpen salju di paris karya Sitor Situmorang. Sedangkan teknik catat yaitu mencatat data-data atau informasi yang diperoleh dari hasil bacaan sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.
2.4    Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan hermeneutic. Pendekatan hermeneutic ini lebih cenderung atau diartikan sebagai upaya interpretasi makna dalam cerita dengn penafsirn-penafsiran yang tepat terhadap fenomena yang terjadi dalam cerita (Endraswara, 2009: 151). Dalam menggunakan pendekatan ini, peneliti mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan menafsirannilai-nilai kehidupanpada cerpen Jin, Harimau Tua, dan Ibu pergi ke surga dalam kumpulan cerpen Salju di Paris karya Sitor situmorang sebagai objek penelitian. Dari hasil deskripsi ini, pembaca akan memperoleh gambaran dan dapat mengetahui, serta memahami nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kehidupan cerpen salju di Paris karya Sitor Situmorang.


3.    HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
3.1    Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Cerpen Jin, Harimau Tua dan Ibu Pergi ke  Surga Dalam Kumpulan Cerpan Salju di Paris  Karya Sitor Situmorang

3.1.1    Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Cerpen Jin
3.1.1.1    Nilai Moral
Dalam cerpen Jin dapat kita lihat bagaimana Aman Doang  sebagai seorang anak sulung gigih memperjuangkan nama baik keluarganya. Bagaimana tidak, adiknya yang begitu manis tanpa salah dan dosa telah direnggut kehormatannya oleh kepala kampungnya sendiri. Atas kejadian itu, gadis tersebut(saulina) merasa malu dan akhirnya mati bunuh diri dengan cara terjun kedalam danau. Dengan banyaknya tantangan dan resiko yang ada didepannya, ia rela memperjuangkan harkat dan martabat keluarganya karena tanggun jawab moral yang ada pada dirinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerpen berikut.
Bagaimana ia dapat tahu adiknya dalam bahaya dalam semak dibalik benteng kampung? Bagaimana ia bisa tahu kepala kampung telah melepaskan nafsunya pada kehormatan adiknya? Anak yang begitu manis. Lalu adiknya terjun ke dalam danau, sedangkan ia, sedangkan orang lain pun tidak ada yang tahu apa yang terjadi! (SDP, 1994: 65).

Dari kutipan tersebut menggambarkan nilai moral, yakni beban berat bagi Aman Doang yang malu terhadap masyarakat dan keluarganya sebagai akibat hilangnya kehormatan adiknya oleh kelakuan bejat Kepala Kampungnya sendiri. Oleh karena kejadian itu pula, saulina yang tidak bisa menerima keadaanya memutuskan untuk bunuh diri dengan terjun ke danau. Menurutnya langkah ini merupakan solusi bagi dirinya untuk menutuoi rasa malu keluarganya. Kakak Saulina (Aman Doang) tidak tahu menahu dengan kejadian yang menimpah adiknya dan setelah tahu siapa pelaku yang membuat malu adiknya tersebut ternyata Kepala Kampung. Ia berusaha membunuh Kepala Kampung sebagai rasa dendam terhadap perbuatan yang dilakukan terhadap adiknya. Meskipun hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum yang ada di Indonesia, namun karena beban psikologis dan tanggung jawab moral sebagai kakak yang menyelimuti perasaannya, maka mau tidak mau ia harus melakukannya.
Secara objektif rasional, memang hal ini tidak bisa dipungkiri dapat dilakukan oleh siapa pun dan terjadi kepada siapa pun yang notabene keluarganya  tersakiti. Siapa pun tidak bisa menghindarkan, namun banyak cara-cara lain yang dapat ditempuh untuk menuntun keadilan atas peristiwa yang dialami oleh keluarga Aman Doang. Akan tetapi, karena emosi yang meluap-luap maka aksi balas dendam ini tidak bisa terhindarkan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerpen berikut:

Kerbau-kerbau terkejut dan gelisah hingga tanduknya terbentur  pada tiang rumah. “siapa?” seru orang dari dalam rumah. Aman Dong diam. dari sela-sela lantai papan kelihatan sinar lampu teplok dinyalakan, lalu bergerak menuju pintu. Aman Doang melihat kaki orang. Turun, Aman Doang mengenal sarung Kepala Kampung. Berhenti sebentar seakan-akan mendengar. Pohon bamboo bergesekan ditiup angin. Berciut. Selainnya sunyi. Aman Doang maju menyergap, mencekik. Tak ada yang menjerit. Kepala Kampung jatuh lemas. Aman Doang memungut pisaunya yang terjatuh dan pulang ke rumah. Ia tidur nyenyak dekat bapaknya. Esok paginya orang menjumpai Kepala Kampung mati dekat lampu teplok yang kehabisan minyak (SDP, 1994: 66)

Dari kutipan cerpen tersebut, kedatangan Aman Doang dengan amarah besaruntuk membalas dendam kepada Kepala Kampung yangyang telah menistakan dapat tersalurkan. Tepatnya ketika pada suatu malam dibulan  purnama ia secara diam-diam pergi dirumahnya kepala kampung. Disaat malam itu juga Aman Doang berhasil membunuh Kepala Kampung dengan cara mencekiknya. Ia memang tidak sangat menerima sikap dan perbuatan yang dilakukan oleh Kepala Kampung itu sangat memukul hati dan perasaan keluarganya. Akam tetapi perbuatan Aman Doang sungguh sungguh melanggar aturan hokum yang berlaku di Indonesia. Pencitraan tokoh Aman Doang sebagai tokoh yang berani memperjuangkan harkatdan martabat keluarganya yang dinodai memang perlu diapresiasi, tetapi hal pembunuhan terhadap Kepala kampung merupakan perbuatan terlarang dan dosa ditinjau dari pengetahuan agama. Sehubungan dengan kutipan diatas, nilai moral yang dapat dipetik pembaca melalui cerpen ini yaitu seberapapun tanggung jawab dan kasih saying kita terhadap keluarga, bahwa kita harus memperhatikan terdapat nilai-nilai moral, norma-norma aturan-aturan, serta hokum-hukum yang berlaku dalam setiap aktifitas dan perbuatan manusia.

3.1.1.2    Nilai sosial
Ia sedang duduk di halaman kampung memasang pacul, sedang anaknya yang masih bayi merangkak-rangkak di tanah didekatnya. Lalu jerit yang nyeri! Bagaimana ia dapat tahu adiknya dalam bahaya dalam semak di balik be teng kampung? Bagaimana ia bisa tahu Kepala Kampung telah melepaskan nafsunya pada kehormatan adiknya? Anak yang begitu manis. Lalu adiknya terjun ke dalam danau, sedangkan ia, sedangkan orang lain pun tak ada yang tahu apa yang terjadi! (SDP, 1994: 65).

Pelanggaran akan nilai dan norma yang dilakukan oleh Kepala Kampung yang telah merenggut kehormatan Saulina sungguh merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa. Sikap dan pola perbuatan seperti ini sangat disayangkan bila terjadi, terlebih dilakukan oleh seorang pemimpin. Dari kutipan cerpen dapat dipredisikan bahwa motif Kepala kampung merenggut kehormatan Saulina hanyalah untuk melampiaskan hawa nafsuh yang menggelora di dalam dirinya.

3.1.1.3     Nilai  Budaya
Sekembalinya ia bermaksud untuk menjadi tukang pangkas. Hal ini telah dipelajari di dalam penjara. Tapi siapakah yang mau dipangkas oleh bekas bujangan? Banyaklah cerita timbul tentang keganasannya dalam penjara sebagai centeng. Karena kekejamanyalah sebagai centeng maka ia dibebaskan begitu lekas!” kata orang (SDP, 1994: 69).

Dari kutipan cerpen tersebut, Aman Doang memperoleh pengalaman selama hidup di penjara. Salah satu pengalaman yang dibawah ketika keluar dari penjara adalah keahlian sebagai tukang pangkas. Pengalaman tersebut dipelajari ketika diaberada dalam penjara. Dia merasakan nasib hidup dipenjara dengan pengalaman yang dialaminya tersebut. Sekembalinya dari penjara, ia bermaksud menjadi tukang pangkas. Namun, rencana tersebut tidak terwujud sebab persepsi negative masyarakat membuatnya tersudut.
Sebagai seorang manusia seharusnya kita tidak semestinya berekspresi negative kepada mantan napi. Tidak semua dari mereka itu kejam karena bisa jadi mereka berbuat kejahatan oleh ketidak-adilan dan ketidak-inginan mereka melihat keluarganya menderita oleh tindakan keji orang lain. Tidak ada seorang pun yang rela diperlakukan tidak adil dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, sebagai manusia modern di zaman ini semestinya kita menanggapi hidup dengan pengertian dan kebijaksanaan. Kita ketahui bersama bahwa hidup ini berarti, maka buatlah hidup bermakna,menata dan menyesuaikan diri sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang sejalan dengan esensi nilai Pancasila.

3.1.1.4    Nilai Keagamaan
Penduduk lembah gelisah. Orang takut dan ada yang berkata bahwa dewata marah dan harus diberikan kurban. Diputuskanlah mengadakan upacara pemberian kurban unuk menebus jiwa Aman Doang dan adiknya Sauna (SDP, 1994: 69).
Kelihatannya disana banyak ikan-ikan besar. Tak berani orang menangkapnya. Kalau lewat tempat itu pun orang tidak berani mengayungkan dayungnya dengan keras, tapi lambat supaya air jangan berisik dan dewa-dewa tak terganggu.

Dari kutipan cerpen tersebut, dengan kematian adik Aman Doang yang terjadi di danau, maka banyak penduduk yang takut ketika lewat di danau. Ketakutan penduduk tersebut masuk akal jika dikaitkan dengan system kepercayaan yang mereka pahami secara kolektif. Cerita tentang kepercayaan kepada agama nenek moyang ini mempunyai hubungan dengan peristiwa factual yang terjadi dalam kehidupan di zaman ini dan ini tidak bisa kita pungkiri. Acap kali masyarakat Indonesia,misalnya untuk hal-hal yang sacral masih mempercayai dewa-dewa, roh dan arwah-arwah yang dapat menimbulkan bencana dan memiliki kekuatan ghaib. Hal ini tidak mudah dihilangkan karena pada dasarnya manusia Indonesia sudah didoktrin sejak kecilnya mengenai hal-hal yang demikian.

3.1.1.5    Nilai Pendidikan
Aman Doang mendengar vonis tanpa berkata selama seperti siding, “Dua puluh tahun dipenjara! Dibuang ke Pulau Jawa, ke Nusakambangan.” Pada hari ia diangkut dengan kapal polisi ke penjara siberang jauh disebela selatan danau untuk diteruskan ke Pulau Jawa, semua kerabat mengantarkan dia. Sebelum naik motoboart, ia diperbolehkan menjabat tangan kaum kerabat dengan tangan terantai. (SDP, 1994: 66).
Kutipan cerpen di atas menyiratkan sebuah sikap yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan yang dimiliki oleh kerabat keluarga Aman Doang untuk mengantar Aman Doang ke kapal polisi. Sebuah sikap kolektif dari pihak keluarga untuk mendukung dan memberikan organisasi positif bagi Aman Doang yang akan menjalani penjara selama 20 tahun di Nusakambangan. Sebagai seorang laki-laki, Aman Doang tidak takut akan sanksi yang dijatuhkan padanya. Ia tidak pernah berpikir untuk lari dari masalah yang dihadapinya. Hal ini menunjukan bahwa ketika seseorang atau keluarga tersakiti, maka kecenderungan untuk membela harkat martabat keluarga kemungkinan besar terjadi. Dari penggambaran inilah pembaca dapat mengambil pelajaran penting tentang arti sebuah keluarga. Hikmah yang dapat kita terima dari pembacaan cerpen yaitu, bersyukurlah kita yang mempunyai keluarga katena pada dasarnya keluarga merupakan sebuah wadah dan komunitas yang dapat menerima kita baik dalam susah ataupun senang, serta berduka atau sedang bahagia.

3.2.2 Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Cerpen Harimau Tua

3.2.2.1 Nilai Moral

Tapi orang tua itu rupanya tak hendak berkata. Lalu aku keluar gubuk setelah kutawarkan sigaret padanya yang udapnya sampai separo hingga hancur, kemerah-merahan seperti luka yang baru, sebab ternyata ia hanya mengunya sirih. Sigaret putih bersih hancur luluh diremas jarinya yang berkulit kasar, hitam serta berbulu. Aku keluar meninggalkan ia di dalan gubuk.

Kutipan cerpen di atas menggambarkan  nilai moral, yakni bagaimana penghargaan dan pengertian seorang pemuda akan keadaan psikologis orang tua. Artinya bahwa ketika seseorang yang tidak bersedia berkomunikasi, tidak menanggapi stimulus pembicaraan yang kita lontarkan, maka bisa diterka bahwa itu belum berkenan untuk berkomunikasi. Hal ini perlu dimaklumi sebab tidak semua manusia stabil dalam hidupnya, dalam periode tertentu seseorang tidak selalu merasa enjoy dan harapan-harapannya tidak terpenuhi. Oleh karena itu langka yang ditempuh si Aku (pemuda) tepat adanya di mana ia dengan sadar keluar dari gunuk itu sambil menanti saat yang tepat untuk berbicara dengan satu orang tua. Jadi, nilai moral yang dapat dipetik dari cerpen ini yaitu, kita harus menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Jika seseorang belum ingin berbicara dengan kita maka kita harus terima keadaan itu sambil menanti momen yang tepat untuk memulai pembicaraan.

3.2.2.2 Nilai Sosial

Orang itu berkisar sedikit, berkata “kau tadinya hendak dijemput orang? Barangkali salh hitung harinya. Bermalamlah, barangkali besok ia datang (SDP, 1994: 60).
“Minum” katanya menawarkan the dalam batok kelapa (SDP, 1994: 63).
Kutipan cerpen di atas memnunjukan seseorang yang memiliki jiwa social yang tinggi. Bagaimana tidak, seorang orang tua yang hidup sebatang kara berkenan memberikan tumpangan tempat tinggal kepada seorang pemuda yang mengalami masalah dalam perjalanannya. Beginilah perilaku yang dapat kita contoh, bahwa sesulit apapun hidup kita, jika ada seseorang yang sedang dalam kesulitan, maka secara social kita harus menolong sesuai dengan kemampuan kita. Tidak ada orang menderita atau merugi karena membantu orang lain. Sebaliknya jika kita membantu orang lain maka sumber-sumber rejeki akan mengalir kepada kita.
3.2.2.3 Nilai budaya
Kupandang sekeliling. Tak ada orang, tak ada yang menjemput seperti menurut janji surat bapak. Tapi, siapakah yang dapat disuruh di zaman seperti ini begitu jauh dari lembah naik gunung kalau tidak di bayar upah yang mahal? Dulu seorang tua yang hidup sendirian pula, ditinggalkan anak yang merantau, dan istri yang lebih suka mati lebih dulu, berhak menyuruh setiap pemuda berdasarkan semangat gotong-royong, ya bahkan cukup berdasarkan ketuannanya saja (SDP 1994; 59).
Kutipan cerpen di atas menunjukan bahwa karena gerak dan perkembangan zaman menimbulkan pergeseran dan rapuhnya nilai-nilai budaya yang sudah ada. Dulu seseorang yang memerlukan bantuan, tanpa undangan atau panggilan pun sekelompak masyarakat dengan tulus datang membantu. Sekarang kan orang mau membantu karena sudah terpaksa dan niatan untuk mendapatkan upah atau imbalan sepantasnya. Sekarang ini sudah sangat jarang kita temukan seseorang yang dengan niat tulus membantu orang lain. Niat tulus saja sebenarnya tidaklah cukup, melainkan perbuaatan nyata di lapangan sangat penting yang menunjukan bahwa konsistensi nilai-nilai budaya adalah harga mati untuk di pertaruhkan.
3.2.2.4 Nilai Pendidikan
…Bermalam? Pikirku. Tapi langsung kusadari 24 jamdi sini, hanya berarti hari tenggelam dan timbul, diselang malam. Waktu di sini rata seperti padang dan tak berakhir seperti luasan sawang. Pada waktu tertentu orang merasa lapar, lalu ia makan, hari berlalu menurut hitungan terbitnya bulan di malam hari, malam yang menjadi permulaan hari baru (SDP, 1994: 65).
Sendirian turun meniti jalan curam ke lembah, memakan tempo setengah hari bagi orang yang biasa, dan sangat berbahaya. Bisa kaki tersandung dan orang tergelincir ke dalam jurang yang dalam sekali dan tak ada yang menghambat, sebab seperti dataran tinggi, juga lereng dan punggung bukit hanya ditumbuhi ilalang dan tak akan bersua manusia (SDP, 1994: 65).
    Berdasarkan kutipan cerpen di atas terdapat nilai pendidikan yakni, seorang pemuda yang teliti dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dalam fakta cerita tersebut si pemuda masih menimbang-nimbang keputusannya untuk bermalam di gubuk bersama seorang orang tua atau memutuskan untuk pergi melanjutkan perjalanannya. Ada beberapa hal yang membuat ia berpikir demikian, yakni lingkungan yang belum ia kenali dan kepribadian atau perangai orang tua yang cenderung tertutup. Namun pada akhirnya si Aku memutuskan untuk bermalam di gubuk itu setelah melewati banyak pembicaraan dengan orang tua.
3.2.3 Nilai-Nilai Kehidupan Dalam Cerpen Ibu Pergi Ke Surga
3.2.3.1 Nilai Moral
Ia memegang bahuku dan sambil memandang ke danau di bawah ia berkata, “Di sini aku ingin dikubur. Kau harus membuat kuburan semen yang indah buat aku. Klau aku sudah mati, ibumu kau pindahkan kemari.”
Aku hanya bertanya, “Mengapa mesti di sini?”
Bapak melepaskan tangan kirinya dari bahuku. Ia berpaling memandang kepuncak gunung dan berkata “Dari tempat ini aku dapat memandang ke daratan tinggi dank e danau.” (SDP, 1994: 74).

Kutipan di atas menggambarkan sikap moral seorang ayah yang mengamanakan tanggung jawab moral terhadap anaknya. Seorang ayah yang memberikan tanggung jawab kepada anaknya berarti ayah mempercayai dan menyayangi anaknya, serta sebagai bentuk balas budi anak kepada orang tua. Dalam kutipan itu, amanah seorang ayah yakni meminta kepada anaknya agar ketika kelak orang tua meninggal dunia ingin dikuburkan di tempat yang ditunjuknya. Dia juga berpesan agar anaknya harus membuat kuburan semen yang indah. Selain itu ia juga memberikan amanah agar kuburan ibunya dipindahkan sehingga berdampingan dengan kuburannya. Sikap seperti ini merupakan sikap yang lazim terjadi dan dilakukan pleh seorang ayah yang sudah tua kepada anaknya sebagai tanggung jawab moral, maka anak anak tersebut diwajibkan untuk melaksanakan amanah yang sacral itu kepada bentuk penghormatan kepada sang ayah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai moral dalam kutipan cerpen itu berkaitan dengan tanggung jawab moral seorang anak terhadap bapak- ibunya seabagai pemenuhan harapan keduanya.

3.2.3.2 Nilai Sosial
Aku tak suka, tapi aku diam. Pendeta rupanya menganggapnya tanda setuju.”kue-kue juga disediakan buat anak-anak. Sihotang telah bermurh hati member sumbangan besar. Tuan masih ingat dia?” (SDP 1994: 73).

Kutipan di atas menggambarkan sikap si Aku yang terkesan tidak menerima saran-saran yang disampaikan o;eh pendeta atau siapapun yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Sikap yang seperti itu merupakan landasan hidup yang dipraktekan si Aku setelah lama hidup dalam kehidupan kota. Dalam kutipan di atas pula, terdapat suatu nilai soaial pula, terdapat suatu nilai yang pasif yang dismpaikan oleh pendeta. Di sana terdapat fakta cerita yang menyatakan bahwa seseprang telah bermurah hati member sumbangan besar. Hal ini merupakan salah satu partisipasi social yang positif. Dari bantuan social itu dapat diasumsikan bahwa seseorang yang menyalurkan bantuan memiliki tanggung jawab social yang tinggi.

3.2.3.3 Nilai Budaya
... Ibu yang terlentang di atas bale-bale ditutupi dengan kain. “Ia tertidur,’pikirku, lalu aku mendekatinya. Kuperhatikan wajahnya dengan mata dan pipinya yng cekung-cekung. Tiba-tuba kusadari dadanya tak bergerk. Kuraba keningnya, lalu kubuka kelopak matanya. Ibu telah mati.
Bagaimana mengatakan hal itu? Orang akan datang berpesta segera: kututupi wajah ibu dengan kain dan sebentar lagi kedengaran orang datang. Pendeta dan orang tua-tua: jemaat pun masuk, mengambil tempatnya di lantai, duduk bersila dengan khidmadt, mula-mula disudut-sudut hingga terisi, kemudian dengan segan-segan menyeret ke tengah ruangan (SDP 1994: 74).

Digambarkan disini bahwa di malam kematian ibunya, tepatnya Natal banyak jemaat gereja yang datang karena kesepakatan sebelumnya bahwa ibunya menginginkan natal dirayakan di rumahnya dan atas bantuan pendeta para jemaat tersebut datang bersama-sama. Di tengah keramaian jemaat, tanpa pengetahuan para jemaat kecuali si Aku, ibu telah meninggal dalam pembaringannya. Mengetahui hal itu, si Aku tidak menceritakan kematian tersebut kepada hadirin. Ia berencanabiarlah mereka yang tahu sendiri tentang kematian ibunya.
Akan tetapi, sampai segenap hadirin pulang tidak seorang pun yang sempat menyapa ibu. Si Aku pun menginformasikannya langsung kepada bapaknya bahwa ibu yang disayanginya telah meninggal. Si Aku pula menceritakan pula bahwa ibunya dikubur dengan upacara adat dab upacara keagamaan. Dalam hal ini, terdapat suatu nilai budaya di mana kedukaan merupakan sesuatu yang sacral sehingga dalam tata cara pemakamannya disesuaikan dengan aturan adat dan aturan keagamaan yang mereka yakini bersama.

3.2.3.4 Nilai Keagamaan
Pendeta berdoa, “ Ya Tuhan Yang mahakuasa, Maha Penyayang, kepada-Mu kami serahkan ibu kami ini. Di tangan-mu hidup dan di tangan-mu jualah mati, terimalah ia dalam surga! (SDP 1994:75)

Berdasarkan kutipan di atas, tampak jelas bentuk sikap manusia yang mempercayai dan meyakini keberadaan dan kuasa Tuhan. Pengakuan tersebut dapat diketahui dari sikap dan tindakan mereka yang menyembah Tuhan Ynag Mahakuasa. Mereka juga meyakini bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah kekal. Ada hidup dan ada pula mati dan semuanya akan menghadap kepada-Nya. Mereka pula percaya akan adanya kehidupan surge dan kehidupan neraka. Jadi, nilai keagamaan yang dapat dipetik dari cerpen ini, yaitu sebagai manusia yang beragama kita harus senantiasa menjalankan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.

3.2.3.5 Nilai pendidikan
Pendidikan tidak hanya diartikan sebagai suatu aktivitas berupa proses ilmu pengetahuan dalam berbagai dimensi ilmu. Lebih dari itu, pendidikan menekankan pentingnya menjaga sikap dan perilaku manusia tentang bagaimana menanggapi dinamika social di masyarakat. Jadi, nilai pendidikan yang dapat dipetik dari cerpen ini bhwa pwndidikan merupakan sesuatu yang penting untuk meningkatkan harkat dan martabat seseorang.
 Terlepas dari banyaknya keterbatasan dan kekurangan-kekurangan yang menyelimutunya. Proses pendidikan harus tetap berjalan mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan menyangkut segala aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin,1997. Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Sinar Baru.
Ahmad, Yunus dkk, 1990. Kajian Analisis Hikayat Budistihara.
          Jakarta:depdikbud.

Badudu, J.S. 1975. Sari kesusastraan Indonesia 3. Bandung: pustaka Prima
Baribin, Raminah. 1983. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP
         Semarang.

Budiyanto.2005. Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Local. Jakarta:
           Depdiknas.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklor: Konsep, Teori, dan
           Aplikasi. Jakarta: Med Press.

Herman. 2010. Nilai kehidupan Dalam cerita Rakyat Masyarakat Muna. Skripsi.
           Kendari: FKIP Unhalu.

Khotimah, Sitti.1999. Analisis Unsur Intrinsik Cerpen “Jakarta Suatu ketika”Dan”Clara” Karya Seno Gumira Ajidarma Dalam Kumpulan Cerpen Iblis
          Tidak Mati, Skripsi. Kendari: FKIP Unhalu.

Koetjaraningrat. 1950. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan
La Niampe. 2000. Prosa Fiksi dan Dharma. Kendari. FKIP: Unhalu.
Nugiantoro, Burhan. 2000. Teori pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gaja Mada Pers.
Pakpahan, Monalisbeth. 2003. Analisis Alur, Tokoh, dan Latar Lima Cerpen
         Korrie Layun Lampun Dalam Rawa. Skripsi. Kendari: FKIP Unhalu.

Pasaribu, I.L. 1982. Prosa Fiksi dan Drama. Kendari: FKIP Unhalu.

Purwanto, Ngalim. 1993. Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Tekhnik Penelitian Sastra.
         Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Puji. 1995. Pengetahuan Apresiasi Kesusastraan. Nusa Indah.

Situmorang, Sitor. 1994. Salju di Paris. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar